Friday, June 15, 2012

Secarik Surat Usang

Hujan disore itu terasa memilukan, berbeda dari hujan-hujan sebelumnya. Dila, menatap gemericik hujan dibalik jendela kamarnya. Hujan disore itu mengingatkan kembali pada kenangan masa lalunya. Dila tersenyum, sesekali Dila meneteskan air mata. Perasaannya campur aduk, antara bahagia, dan sedih. Tapi kesedihannya terlalu menguasai pikirannya, Dila entah menangis dalam senyum atau tersenyum dalam tangis. Dila terpukul dengan perasaannya saat itu. Pikirannya kembali ke peristiwa beberapa tahun silam. Otaknya seolah memutar kembali semua runtutan kenangan itu...... * * * * * * Ponsel Dila berdering, terpampang dilayar ponselnya dengan nama kontak Raihan. Dua minggu setelah Dila masuk sebuah PTN, Raihan diam-diam memiliki perasaan yang beda terhadap Dila. Pertemuan pertamanya dimulai saat Dila menaiki angkot ketika pulang kuliah, Raihan yang pada saat itu satu angkot dengan Dila mencoba untuk berkenalan dan mengakrabkan diri dengan Dila. Perkenalan itu pun berlanjut dengan saling tukar nomor ponsel. Ketika itu Dila memang sudah mempunyai seorang pacar. Dila sangat menyayanginya. Rio yang saat itu sebagai pacar Dila, menunggu di perempatan jalan bermaksud menjemput Dila. Angkot berhenti, Raihan memperhatikan Dila ketika turun dari angkot. Ketika Dila menaiki motor Rio pun, Raihan masih memperhatikan Dila. Setiap malam, Raihan tidak pernah melewatkan waktu untuk menelpon Dila, meskipun Dila menganggapnya sebagai hal yang biasa. Namun berbeda dengan Raihan, yang terlalu menyimpan harapan. Perbedaan kampus antara Dila dengan Rio menjadi kesempatan Raihan untuk mendekati Dila. Ketika menunggu jam masuk kuliah, di kantin dan saat sebelum pulang Raihan selalu menyempatkan untuk bertemu dengan Dila. Raihan dan Dila terlihat semakin dekat. Kedekatan Dila dan Raihan berlanjut ketika di luar kampus. Makan bareng, nonton, atau sekedar mengunjungi tempat wisata sering dilakukan Dila dan Raihan. Memang, meskipun Dila sudah mempunyai seorang pacar yang sangat dicintai, tapi disisi lain Dila merasakan kesepian. Pacarnya terlalu cuek, entah mengapa. Tapi Dila menganggap itu hanyalah hal biasa dan mungkin itu memang sifat Rio. Dila terlalu terbuai dengan rasa cintanya yang begitu besar pada Rio, tapi di hati kecilnya Dila merasa nyaman setiap kali bersama Raihan. Suatu pagi dikampus, entah mengapa Dila dan Raihan tiba di kampus pada waktu yang sama. Meskipun turun dari angkot yang berbeda. “Hai.” Raihan menyapa ringan. “Hai, kamu baru datang juga?” Dila menjawab sambil tersenyum manis. “Kamu ngikutin aku ya?” gurau Dila. “Ih apa sih? Kepedean deh. Kamu kali yang ngikutin aku?” Raihan membalas gurauan Dila. “Udah sarapan belum?” tanya Raihan. “Belum nih, mau traktir yah?” jawab Dila sambil mencolek perut Raihan. “Tuh kan, masih aja kepedean, tapi ayo lah!” Raihan menyanggupi untuk menraktir Dila. Dila dan Raihan berjalan beriringan menuju kantin langganan mereka, lalu memesan makanan, dan duduk di meja yang terletak di sudut kantin. “Oh ya Dil, aku pengen ngasih tau kamu sesuatu.” Raihan kembali membuka pembicaraan. “Apa? Kamu ga punya duit?” “Bukan itu, kemaren pas aku abis nge-print tugas, aku ketemu Rio. Adeknya cakep lho, kenalin dong.” Ujar Raihan sambil cengengesan. “HAH??!!! Adek?!” Dila kaget. “Perasaan Rio gak punya adek ah, ngaco kamu mah.” sahut Dila. “Yang bener? Tapi kok Rio bilang kalo itu adalah adeknya. Wah jangan-jangan......” belum sempat Raihan melanjutkan omongannya Dila memotong, “Udah ah, jangan berprasangka buruk ke orang lain.” Sebulan terakhir memang Dila sering mendengar dari teman-temannya kalau mereka sering melihat Rio jalan dengan cewek lain, tapi Dila selalu mengabaikannya. Dila terlalu percaya. Dila selalu beranggapan bahwa cewek yang jalan dengan Rio itu mungkin teman kampusnya atau sekedar teman biasa. Dila tak begitu mempermasalahkannya. Hingga pada suatu sore, ketika pulang kampus. Raihan mengajak Dila untuk jalan, mereka bermaksud untuk nonton. Ketika menunggu film dimulai, Raihan memberi tahu Dila, bahwa Raihan melihat untuk kedua kalinya Rio jalan dengan cewek yang sama. Seperti biasa, Dila selalu mengacuhkannya. Setelah selesai nonton, Raihan mengajak Dila untuk makan. “Dil, aku pengen ngomong sesuatu.” Raihan membuka pembicaraan dengan wajah menunduk. “Apa? Mau ngomong ko bilang-bilang. Tinggal ngomong aja apa susahnya sih?” Dila menjawab tanpa beban. “Mmmmmm....gimana ya, bingung.” Raihan menggaruk kepalanya. “Apa sih Raihan? Kok kamu jadi gini sih? Tadi juga pas nonton diem aja. Kamu kenapa? Sakit?” Dila mengintip wajah Raihan yang menunduk. “Aku suka sama kamu Dil, aku cinta kamu, aku ingin kamu jadi pacar aku. Tapi, sayangnya kamu kan udah punya pacar.” Suasana mendadak hening, ada rasa bahagia yang dirasakan Dila, sebenernya Dila sendiri merasa nyaman dengan Raihan dan hampir mempunyai rasa yang sama. Tapi rasa itu selalu ditepis oleh Dila. “Kamu gak lagi bercanda kan?” tanya Dila. “Nggak Dila, aku gak lagi becanda. Aku beneran suka sama kamu.” Dila tidak menjawab, ia hanya tersenyum. “Sudahlah, lupakan saja.” Raihan seolah tahu apa yang akan dikatakan Dila. Sepanjang perjalanan pulang, mereka membisu. Tak ada satu pun kata yang terlontar dari Dila ataupun Raihan. Dila tersenyum ketika mengingat perkataan Raihan tadi, entah mengapa Dila merasa ada rasa bahagia yang mengalir di hatinya. Kalimat itu seolah membuat hatinya tenang. Dila sendiri tidak dapat menjelaskan alasannya. Tapi yang pasti, ia ingin mendengar kalimat itu sekali lagi. Sekedar untuk meyakinkan hatinya. Namun berbeda dengan Raihan. Ia terlalu cepat mengambil jawaban. Dila tak mungkin akan menerimanya, lagipula Dila juga sudah mempunyai pacar, hanya itu yang ada dipikirannya. Hingga akhirnya Raihan menyerah dan berniat untuk melupakan dan menjauhi Dila. * * * * * * Air mata Dila semakin mengalir, ketika mengingat masa lalunya itu. Dila menyesal menyia-nyiakan orang yang selalu ada untuknya. Menyesal karena tak pernah mau mendengar apa yang dikatakan teman-temannya. Ternyata apa yang dikatakan Raihan dan teman-temannya itu memang benar. Rio tak pernah tulus menyayanginya. Berbeda dengan Raihan yang menyimpan perasaan tulus terhadapnya. Dan Dila tahu itu. Namun Dila merasa dirinya bodoh karena selama ini Dila selalu mengabaikan Raihan dan membohongi perasaannya sendiri. Dila sangat menyesal. Dila kembali meraih ponselnya dan membuka pesan singkat dari salah seorang temannya yang pernah diterimanya dulu. Sender: +628132704.... Dila, Raihan udah gak ada. Semalam waktu Raihan akan berkunjung ke rumahmu,dia mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarainya bertabrakan dengan sebuah truk. Saat itu kondisinya kritis, sampai akhirnya jantung Raihan benar-benar berhenti. Maaf jika aku membuatmu sedih. Tapi aku harus memberitahumu. Dila merasa terpukul dengan pesan singkat yang diterimanya dari teman yang kebetulan satu kelas dengan Raihan itu. Pesan singkat itu masih tersimpan di ponselnya sampai sekarang. Dila memang tidak ingin menghapusnya. Dila tertegun, tak lama kemudian Dila meneteskan air matanya. Butuh tenaga besar bagi Dila untuk bangkit dan berjalan menuju meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Ia membuka salah satu lacinya dan meraih secarik surat yang sudah tampak lusuh. Perlahan Dila membaca kembali isi surat itu. Untukmu, Nadila Byanti... Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku ketika bisa menjadi bagian dari lembaran buku harianmu? Bahagia. Aku memang baru mengenalmu, tapi rasanya aku sudah mengenalmu seumur hidupku. Dan tiba-tiba saja aku sadar kau telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku. Dila, aku minta maaf jika selama ini aku selalu menghindar darimu seolah tidak ingin bertemu. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin menutupi rasa sedihku. Saat itu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menerima tanpa mengubahnya. Aku hanya bisa berharap kau bahagia bersama Rio. Tapi ternyata aku salah. Dan ketika aku baru saja ingin kembali padamu, Tuhan berkehendak lain... Dila, pertemuan dan perpisahan sudah menjadi pasangan dalam kehidupan. Percayalah bahwa jika ada secercah cahaya yang meredup, di sisi lainnya pasti ada setitik cahaya yang siap bersinar terang. Saat membaca surat ini, kau boleh menangis. Tapi setelahnya, hapuslah air matamu dan tersenymlah. Karena selama kau baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja. Cintaku akan tumbuh bersama bunga-bunga di taman, mengalir bersama air di sungai, dan bersinar bersama bintang-bintang di langit. Percayalah. Raihan Arya Nugraha Air mata Dila mengalir semakin deras setelah membaca kembali isi surat itu. Surat yang diterimanya dari ibunda Raihan ketika Dila berziarah ke makam Raihan. Surat yang dititipkan Raihan untuknya. Memang, setelah Raihan mengungkapkan perasaannya, Dila tak pernah bertemu langsung dengan Raihan. Apalagi menghabiskan waktunya bersama Raihan. Bahkan Raihan selalu menghindar setiap kali Dila mendekat. Padahal saat itu Dila telah benar-benar yakin bahwa Dila juga mempunyai rasa yang sama terhadap Raihan. Dila memang menyesal, tapi Dila tahu, jarum waktu akan terus berputar dan tidak mungkin mengembalikan masanya itu. Dila menyeret kakinya berjalan menuju jendela dan memandang ke arah luar. “Terima kasih Raihan. Aku tahu kau tidak pernah benar-benar pergi meninggalkan aku......” TAMAT

No comments:

Post a Comment