Wednesday, June 20, 2012

Dawn at the Harbour

“Pelabuhan yang sepi, kapal-kapal tak berpenghuni.” Setiap yang lewat, kupaksa berhenti. Kumunculkan pertanyaan, berulang-kali: “Cintakah padanya?” Jawabannya berbeda reaksi. Seorang lelaki tua menangis, meraung-raung sembari mengingat apa yang terjadi. “Cinta seperti pisau. Kubeli dengan harga mahal, kukumpulkan dari tabungan. Menyayat kulit sendiri, di saat tak hati-hati.” “Cintakah padanya?” tanyaku pada perempuan muda, cantik, berjalan sendiri. Ia tatap mataku lekat. Masuk ke dalam, berenang di retinaku. “Tak pernah benar-benar mencintai. Tapi kurawat hingga mati.” Setiap yang lewat, mengurai alasannya sendiri. Tentang cinta, urusannya jadi berbeda-beda. Ada yang rela mengabdi, banyak yang merasa dikhianati, tidak sedikit yang pura-pura mengerti. Melangkahlah aku di pelabuhan itu. Berjalan dari ujung barat ke ujung timur. Balik lagi, dan berkali-kali. Satu pertanyaan belum kujawab sendiri, “Berjalan ataukah berhenti sampai di sini?” Pelabuhan sepi. Kapal-kapal merapat ke tepi. Tak berpenghuni, tak ada orang di dalamnya. “Mereka pergi, menghalau angin yang menyesatkan,” seorang tak dikenal, berteriak di garis tepi. Nampak gelap, tak terlihat wajahnya di keremangan sunyi. Akankah kulanjutkan perjalanan? Atau sampai di sini? Tak satu kapal pun berangkat menuju ke alamat yang kukehendaki. Sebuah pulau yang nampak biru di bagi buta. Warnanya berubah tanah menjelang matahari tenggelam. Aku ingin berkencan dengannya. Ingin kami bertemu, dan memutus kesepakatan di sana. Tapi, kapal-kapal enggan ke tepi. Berayun-ayun, bergoyang disenggol gelisah ombak. Kuharap, jurumudi tak merapatkan kapalnya. Aku benar-benar ingin ke sana. Seseorang telah menunggu di ujung pulau itu. Berangkat lebih dahulu beberapa hari lalu. Berbekal alas dan cermin kecil. Berjanji untuk bertemu. “Tak seorang pun di pulau itu. Pulau telah kosong, dihempas badai tak tersisa. Satu dua mayat teronggok di pantai, itulah penghuni terakhirnya,” seorang nelayan, terbata menjelaskan. Bagaimana kupercaya, bukankah ia telah di sana? Beberapa malam sebelumnya, kami merancang janji. Tinggal di pulau itu, pulau sunyi. Kami ingin sendiri, merajut kasih sesuka hati. Berhasrat mati di pekuburan yang berhimpitan. Satu liang yang berdampingan. Anak-anak kami menguburkannya dengan airmata menetes penuh duka. Nama kami menjadi prasasti. Tapi tidak. Pelabuhan akhirnya ditutup. Lampu-lampu dimatikan, layar kapal terjatuh pelan. Orang-orang beransur pulang, tinggal angin yang berkejaran. Aku sendiri di bangku , duduk melipat kaki. Kupandang titik pulau itu, seolah kubuang jauh cintaku. Jarak menjadi penentu seberapa besar rinduku. Jika pertemuanku dilenyapkan, kuharap lebih baik tenggelam di laut dalam. Diseret hiu lapar, dan dilemparkan. Kabar tentang pulau itu kian memilukan. Pulau akhirnya karam, hutan-hutan tak lagi nampak. Berita angin berseliweran, kapal-kapal dilabuhkan. Pulau itu benar-benar karam, tak seorang pun terselamatkan. Berteriak pada resonan yang tinggi, berkali-kali namanya kupanggili. Namun malam telah jauh berlari, betapa pilu sendiri. Akankah perjalanan sampai di sini, atau mesti kucari hingga kapan, ku tak mengerti? Kekasihku yang hilang, dan pergi…..

No comments:

Post a Comment