Wednesday, June 20, 2012

Dawn at the Harbour

“Pelabuhan yang sepi, kapal-kapal tak berpenghuni.” Setiap yang lewat, kupaksa berhenti. Kumunculkan pertanyaan, berulang-kali: “Cintakah padanya?” Jawabannya berbeda reaksi. Seorang lelaki tua menangis, meraung-raung sembari mengingat apa yang terjadi. “Cinta seperti pisau. Kubeli dengan harga mahal, kukumpulkan dari tabungan. Menyayat kulit sendiri, di saat tak hati-hati.” “Cintakah padanya?” tanyaku pada perempuan muda, cantik, berjalan sendiri. Ia tatap mataku lekat. Masuk ke dalam, berenang di retinaku. “Tak pernah benar-benar mencintai. Tapi kurawat hingga mati.” Setiap yang lewat, mengurai alasannya sendiri. Tentang cinta, urusannya jadi berbeda-beda. Ada yang rela mengabdi, banyak yang merasa dikhianati, tidak sedikit yang pura-pura mengerti. Melangkahlah aku di pelabuhan itu. Berjalan dari ujung barat ke ujung timur. Balik lagi, dan berkali-kali. Satu pertanyaan belum kujawab sendiri, “Berjalan ataukah berhenti sampai di sini?” Pelabuhan sepi. Kapal-kapal merapat ke tepi. Tak berpenghuni, tak ada orang di dalamnya. “Mereka pergi, menghalau angin yang menyesatkan,” seorang tak dikenal, berteriak di garis tepi. Nampak gelap, tak terlihat wajahnya di keremangan sunyi. Akankah kulanjutkan perjalanan? Atau sampai di sini? Tak satu kapal pun berangkat menuju ke alamat yang kukehendaki. Sebuah pulau yang nampak biru di bagi buta. Warnanya berubah tanah menjelang matahari tenggelam. Aku ingin berkencan dengannya. Ingin kami bertemu, dan memutus kesepakatan di sana. Tapi, kapal-kapal enggan ke tepi. Berayun-ayun, bergoyang disenggol gelisah ombak. Kuharap, jurumudi tak merapatkan kapalnya. Aku benar-benar ingin ke sana. Seseorang telah menunggu di ujung pulau itu. Berangkat lebih dahulu beberapa hari lalu. Berbekal alas dan cermin kecil. Berjanji untuk bertemu. “Tak seorang pun di pulau itu. Pulau telah kosong, dihempas badai tak tersisa. Satu dua mayat teronggok di pantai, itulah penghuni terakhirnya,” seorang nelayan, terbata menjelaskan. Bagaimana kupercaya, bukankah ia telah di sana? Beberapa malam sebelumnya, kami merancang janji. Tinggal di pulau itu, pulau sunyi. Kami ingin sendiri, merajut kasih sesuka hati. Berhasrat mati di pekuburan yang berhimpitan. Satu liang yang berdampingan. Anak-anak kami menguburkannya dengan airmata menetes penuh duka. Nama kami menjadi prasasti. Tapi tidak. Pelabuhan akhirnya ditutup. Lampu-lampu dimatikan, layar kapal terjatuh pelan. Orang-orang beransur pulang, tinggal angin yang berkejaran. Aku sendiri di bangku , duduk melipat kaki. Kupandang titik pulau itu, seolah kubuang jauh cintaku. Jarak menjadi penentu seberapa besar rinduku. Jika pertemuanku dilenyapkan, kuharap lebih baik tenggelam di laut dalam. Diseret hiu lapar, dan dilemparkan. Kabar tentang pulau itu kian memilukan. Pulau akhirnya karam, hutan-hutan tak lagi nampak. Berita angin berseliweran, kapal-kapal dilabuhkan. Pulau itu benar-benar karam, tak seorang pun terselamatkan. Berteriak pada resonan yang tinggi, berkali-kali namanya kupanggili. Namun malam telah jauh berlari, betapa pilu sendiri. Akankah perjalanan sampai di sini, atau mesti kucari hingga kapan, ku tak mengerti? Kekasihku yang hilang, dan pergi…..

Jack and Diane

Mereka telah saling mengenal sejak bersekolah dan telah menjadi sahabat baik. Mereka berbagi semua dan apapun juga dan menghabiskan banyak waktu bersama dalam dan setelah sekolah. Tetapi hubungan mereka tidak berkembang namun hanyalah sebatas teman. Diane menyimpan rahasia,kekagumannya dan cintanya kepada Jack. Dia memiliki alasan tersendiri untuk menyimpan hal itu sendiri. TAKUT! Takut akan penolakan, takut jika Jack tidak merasakan hal yang sama, takut kalau Jack tidak menerimanya sebagai temannya lagi, takut kehilangan seseorang yang dia merasa nyaman bersamanya. Setidaknya jika dia tetap menjaga perasaannya, dia mungkin masih bisa bersama Jack dan dengan harapan, bahwa Jack lah yang akan mengatakan bagaimana perasaannya kepada Diane. Waktu terus berjalan dan sekolah telah bubar. Jack dan Diane pergi kearah yang berlainan. Jack melanjutkan studinya di luar negeri,sedangkan Diane mendapatkan pekerjaan. Mereka tetap saling berhubungan, dengan surat, saling mengirimkan foto masing-masing dan saling mengirimkan hadiah. Diane merindukan Jack akan kembali. Dia telah memutuskan bahwa dia memiliki kekuatan untuk mengatakan kepada Jack, bagaimana perasaan cintanya jika Jack kembali. Dan tiba-tiba, surat dari Jack terhenti. Diane menulis kepadanya,tetapi tidak ada jawaban. Dimana dia? Apa yang terjadi? Banyak pertanyaan yang ada di kepalanya. Dua tahun berlalu dan Diane tetap berharap bahwa Jack akan kembali atau setidaknya mengiriminya surat. Dan doanya terkabul. Dia menerima surat dari Jack yang mengatakan : ”Diane, aku punya kejutan untukmu... temui aku di bandara pukul 7 malam. Aku tidak kuat menunggu untuk menemuimu lagi. Cinta dan cium, Jack". Diane berbunga-bunga. Cinta dan cium, berarti banyak bagi seorang wanita yang belum merasakan cinta sebelumnya. Dia begitu gembira atas kata-kata itu. Ketika harinya telah tiba, Diane menunggu dengan cemas. Dia memakai pakaian terbaiknya dan berusaha terlihat secantik mungkin. Dia mencari Jack kesana kemari. Tetapi tidak dilihatnya Jack. Kemudian datang seorang wanita dengan pakaian ketat berwarna biru yang seksi. Dia begitu perhatian melihat Diane, lalu katanya : "Hai! Aku Jacelyn, temannya Jack. Kamu Diane?" tanyanya. Diane menganggukkan kepala. "Maaf, aku punya kabar buruk bagimu. Jack tidak akan datang. Dia tidak akan datang lagi…." kata wanita itu, sambil meletakkan tangannya di pundaknya Diane. Diane tidak dapat mempercayai hal yang dia dengar !!! Apa yang telah terjadi?? Diane bingung, dia amat sangat khawatir sekali dan wajahnya menjadi pucat. "Dimana Jack? Apa yang terjadi padanya??? Katakan padaku..." Diane memohon kepada si wanita. Si wanita melihat dengan cermat ke Diane dan dia menepuk pundak Diane dan mengatakan : "ALAMAK DIANE... INI IKE, JACK... APAKAH IKE TERLIHAT CANTIK SEKARANG? AIH....AIH......YEY NGGAK BISA NGENALIN IKE LAGI YAH??? IHHH...SEBEL DEH.....!!!" .........dan kemudian Diane langsung pingsan.....

Hai.... :)

Hmmh Hai… :) Apa kabar? Lamaaa nggak ketemu ya, hehe. Mmm apa ya, aku cuma mau ngomong, aku kangen kamu. Konyol ya? Haha, tak apalah. Masih jelas banget di otak ku suasana Bogor waktu musim hujan, bulan November 2009 – April 2010. Pagi hari yang berkabut, udara yang dingin walaupun siang bolong, rintikan hujan yang semakin lama menenangkan pikiran, dan terutama : kamu. Di memoriku, kamu identik dengan suasana musim hujan, dentingan piano merdu lagu-lagu romantic, dan… senyuman manis yang setiap kali mengembang disaat kita bertemu. Mmmm… Hujan-hujan gini apa yang kamu rasain? Aku inget banget kalo kamu suka hujan. Aku juga, suaranya, udaranya, kenangannya…. Masih ingatkah kamu akan aku? Akan kisah cinta kita? Aku percaya, kau masih mengingatnya di sana Entahlah…

A Special Gift

Suatu senja yang cerah di sudut kota Denpasar. Anna ingin memberikan hadiah ulang tahun buat kekasihnya, Iwan, yang jatuh pada esok hari. Ia sudah menantikan saat ini, bukan hanya karena ingin menunjukkan betapa sayangnya ia kepada kekasihnya, namun juga ingin melepas rindu seusai liburan sekolah yang cukup lama. Dengan langkah pasti, ia bergegas pergi ke toko untuk mencari barang yang menurutnya cocok dan pas untuk kekasihnya. Sebuah barang yang simple, namun bisa menjadi tanda mata yang konkret. Setelah lama mencari dan memilih, Anna mengambil sebuah topi bowler, dan segera menyerahkan topi itu kepada penjaga toko untuk dibungkus rapi dengan kertas kado. Sesampai di rumah, Anna ingin menuliskan sebuah surat sebagai pengantar hadiah yang akan diberikan kepada kekasihnya, bertuliskan : “Sayang..., Selamat ulang tahun ya, semoga di tahun ini, kamu tambah cakep, pinter, dan setia. O iya, aku ada kado buat kamu, kalo kamu udah pake hadiah ini, jangan lupa keluarkan sedikit rambutnya ya..., biar tambah keren. : ) I Love you...... “. Ia melewati malam itu dengan hati berdebar, memikirkan tentang ‘Apa dia suka sama hadiahku?’, ‘Apa reaksinya?’, dll. Anna pun berusaha memejamkan mata, namun tidak bisa. Memikirkan apa yang terjadi esok hari. Akhirnya dia pun ketiduran karena terlalu lelah. Esoknya, Pesta kecil-kecilan digelar di ruang kelas mereka seusai bel sekolah. Beberapa teman Iwan memberi surprise, namun, tidak ada hadiah yang lebih special dari hadiah sang kekasih hati. Iwan pun membalas dengan satu kecupan di kening Anna, yang membuat pipinya merah karena malu. Pesta telah berakhir, dan semua anak telah beranjak pulang dari sekolah. Sesampainya Iwan di rumah, ia langsung membuka kado dari Anna, kekasihnya. Kemudian dia mulai membaca isi surat yang terselip. Tapi, Iwan akhirnya bingung sendiri......?????? Ternyata??? Pegawai toko tadi salah memasukkan hadiah, dan hadiah yang dibawa si Anna adalah celana dalam…. Hehehehe

I Think I'm in Love Again

Hey, i think i'm in love again. Yeah, that is you! boy. i don't know how i feel, but, i'd like to be beside you, i like talking to you, i miss our moments together, although you don't know that. I don't know how to express it, but one thing, as long as i know you, i've never felt this feeling before :D Yaah, seandainya aku bisa nyebutin namamu disini, tapi sayang, kalo aku ngelakuin hal itu, itu bakalan jadi hal terbodoh bulan ini. I like u, A D :) with all my heart

Woman...

Cewek cantik itu seperti apel di pohon. Yang paling bagus itu yang paling tinggi. Cowok tidak mau mengambil yang paling tinggi. Kenapa? Karena mereka takut jatuh dan sakit. Mereka akhirnya mengambil apel yang telah jatuh dimana apel itu tidak begitu bagus. Tapi, mudah didapatkan. Akhirnya apel yang paling tinggi bertanya-tanya ada apa yang salah dengan mereka, padahal tidak ada yang salah, mereka tetap bagus seperti biasa. Mereka hanya harus menunggu cowok yang tepat. Cowok yang mempunyai kemauan dan keberanian yang cukup besar untuk memanjat ke ujung pohon yang paling tinggi. Benarkah itu? entahlah..

Someday

Someday you’ll gonna realize. One day you’ll see through my eyes. But then i won’t even be there. I’ll be happy somewhere. Even if i can’t. I know, You dont really see my worth. You think your the last guy on earth. Well i’ve got news for you. I know i’m not that strong. But it won’t take long. Won’t take long. Coz someday, someone’s gonna love me. The way, i want you to need me. Someday, someone’s gonna take your place. One day i’ll forget about you. You’ll see, i won’t even miss you. Someday, someday. But now, I know you can’t tell. I’m down,and i’m not down anyway. But one day these tears. They will all run dry. I won’t have to cry. Sweet goodbye. Coz someday, someone’s gonna love me. The way, i want you to need me. Someday, someone’s gonna take your place. One day i’ll forget about you. You’ll see, i won’t even miss you. Someday, someday...

Iron Bell

Suatu sore di bulan Desember… Hujan deras turun di sore itu. Hujan yang sudah biasa terjadi di penghujung bulan Desember. Elisa sedang menikmati suasana hujan dari jendela kamarnya, sembari mencorat coret buku harian usang yang telah lama ia gunakan. Lembaran demi lembaran yang ia buka seakan memutar kembali kenangan semasa SMP, tentang tawa, pertemanan, dan duka. Secarik kertas berisi foto-foto teman sekelas dan teman-teman satu angkatan semasa SMP yang terabadikan, walaupun kini, entah kemana rimbanya. Teman-teman yang telah merantau pergi demi menggapai mimpi, ataupun teman yang telah dipanggil Illahi. Termenung dalam lamunan, Elisa bergumam “mungkinkah masa-masa indah ini kembali ?”. Sesekali ia mengalihkan pandangan, melihat tetesan air hujan yang hanya bisa membasahi jendela, terhalang oleh kaca dan tak bisa menyapa. Mengingatkan dia akan pacarnya. Tiba-tiba pintu rumah Elisa terketuk, ia buru-buru membukakan pintu… Ternyata yang datang adalah Sean, pacar Elisa. Ia datang dengan badan basah kuyup terguyur hujan. Sean langsung memeluk Elisa sambil berkata “I LOVE YOU sayang…”, ia pun merasa heran sekaligus senang dengan kedatangannya. “I LOVE YOU TOO”, jawab Elisa. Di depan pintu rumah Elisa, disaat hujan deras berpayung awan hitam menyelimuti, Sean mengeluarkan dua buah lonceng dari saku jaketnya. “Kenapa sayang?”, Tanya Elisa. Sean hanya tersenyum simpul, “Sayang, simpanlah lonceng ini, aku akan menyimpan yang satunya. Ini adalah pemberian dari orangtuaku. Lonceng ini menandakan perasaan dan hati kita, selama kita menyimpan lonceng ini, ingatlah bahwa hati kita selalu menyatu walau raga kita jauh. Dan apabila lonceng ini berbunyi, itu berarti salah satu dari kita ada yang kangen… ”, terang Sean. Elisa tersenyum haru, ia lalu segera menyuruh Sean masuk ke dalam rumah untuk mengganti baju, sembari menggantungkan lonceng itu di lemari. Hati Elisa sedang berbunga-bunga, tapi tiba-tiba terdengar bunyi telpon berdering. ternyata yang menelepon adalah sahabatnya, Rachel. Rachel berkata kalau Sean mengalami kecelakaan saat sedang menuju ke rumah Elisa, dan Sean pun tewas di tempat... Saat mendengar berita ini, Elisa tidak percaya, dan pada saat itulah ia mencari Sean di rumahnya dan ternyata sayang, Sean tidak ada lagi. Elisa menyadari bahwa Sean benar-benar sudah meninggal. Dan itulah untuk yang terakhir kalinya ia melihat dan mendengar kata sayang dari Sean kepadanya. Elisa tak kuasa menahan tangis, tapi tiba-tiba…. ‘kling… kling… kling…’, ia tersentak ketika mendengar lonceng itu berdering, lonceng yang diberikan Sean ternyata benar-benar ada dan masih tergantung di lemari Elisa. Seketika itu pula ia teringat akan perkataan Sean, tentang lonceng itu, dan tentang kisah cinta mereka berdua…

Friday, June 15, 2012

Secarik Surat Usang

Hujan disore itu terasa memilukan, berbeda dari hujan-hujan sebelumnya. Dila, menatap gemericik hujan dibalik jendela kamarnya. Hujan disore itu mengingatkan kembali pada kenangan masa lalunya. Dila tersenyum, sesekali Dila meneteskan air mata. Perasaannya campur aduk, antara bahagia, dan sedih. Tapi kesedihannya terlalu menguasai pikirannya, Dila entah menangis dalam senyum atau tersenyum dalam tangis. Dila terpukul dengan perasaannya saat itu. Pikirannya kembali ke peristiwa beberapa tahun silam. Otaknya seolah memutar kembali semua runtutan kenangan itu...... * * * * * * Ponsel Dila berdering, terpampang dilayar ponselnya dengan nama kontak Raihan. Dua minggu setelah Dila masuk sebuah PTN, Raihan diam-diam memiliki perasaan yang beda terhadap Dila. Pertemuan pertamanya dimulai saat Dila menaiki angkot ketika pulang kuliah, Raihan yang pada saat itu satu angkot dengan Dila mencoba untuk berkenalan dan mengakrabkan diri dengan Dila. Perkenalan itu pun berlanjut dengan saling tukar nomor ponsel. Ketika itu Dila memang sudah mempunyai seorang pacar. Dila sangat menyayanginya. Rio yang saat itu sebagai pacar Dila, menunggu di perempatan jalan bermaksud menjemput Dila. Angkot berhenti, Raihan memperhatikan Dila ketika turun dari angkot. Ketika Dila menaiki motor Rio pun, Raihan masih memperhatikan Dila. Setiap malam, Raihan tidak pernah melewatkan waktu untuk menelpon Dila, meskipun Dila menganggapnya sebagai hal yang biasa. Namun berbeda dengan Raihan, yang terlalu menyimpan harapan. Perbedaan kampus antara Dila dengan Rio menjadi kesempatan Raihan untuk mendekati Dila. Ketika menunggu jam masuk kuliah, di kantin dan saat sebelum pulang Raihan selalu menyempatkan untuk bertemu dengan Dila. Raihan dan Dila terlihat semakin dekat. Kedekatan Dila dan Raihan berlanjut ketika di luar kampus. Makan bareng, nonton, atau sekedar mengunjungi tempat wisata sering dilakukan Dila dan Raihan. Memang, meskipun Dila sudah mempunyai seorang pacar yang sangat dicintai, tapi disisi lain Dila merasakan kesepian. Pacarnya terlalu cuek, entah mengapa. Tapi Dila menganggap itu hanyalah hal biasa dan mungkin itu memang sifat Rio. Dila terlalu terbuai dengan rasa cintanya yang begitu besar pada Rio, tapi di hati kecilnya Dila merasa nyaman setiap kali bersama Raihan. Suatu pagi dikampus, entah mengapa Dila dan Raihan tiba di kampus pada waktu yang sama. Meskipun turun dari angkot yang berbeda. “Hai.” Raihan menyapa ringan. “Hai, kamu baru datang juga?” Dila menjawab sambil tersenyum manis. “Kamu ngikutin aku ya?” gurau Dila. “Ih apa sih? Kepedean deh. Kamu kali yang ngikutin aku?” Raihan membalas gurauan Dila. “Udah sarapan belum?” tanya Raihan. “Belum nih, mau traktir yah?” jawab Dila sambil mencolek perut Raihan. “Tuh kan, masih aja kepedean, tapi ayo lah!” Raihan menyanggupi untuk menraktir Dila. Dila dan Raihan berjalan beriringan menuju kantin langganan mereka, lalu memesan makanan, dan duduk di meja yang terletak di sudut kantin. “Oh ya Dil, aku pengen ngasih tau kamu sesuatu.” Raihan kembali membuka pembicaraan. “Apa? Kamu ga punya duit?” “Bukan itu, kemaren pas aku abis nge-print tugas, aku ketemu Rio. Adeknya cakep lho, kenalin dong.” Ujar Raihan sambil cengengesan. “HAH??!!! Adek?!” Dila kaget. “Perasaan Rio gak punya adek ah, ngaco kamu mah.” sahut Dila. “Yang bener? Tapi kok Rio bilang kalo itu adalah adeknya. Wah jangan-jangan......” belum sempat Raihan melanjutkan omongannya Dila memotong, “Udah ah, jangan berprasangka buruk ke orang lain.” Sebulan terakhir memang Dila sering mendengar dari teman-temannya kalau mereka sering melihat Rio jalan dengan cewek lain, tapi Dila selalu mengabaikannya. Dila terlalu percaya. Dila selalu beranggapan bahwa cewek yang jalan dengan Rio itu mungkin teman kampusnya atau sekedar teman biasa. Dila tak begitu mempermasalahkannya. Hingga pada suatu sore, ketika pulang kampus. Raihan mengajak Dila untuk jalan, mereka bermaksud untuk nonton. Ketika menunggu film dimulai, Raihan memberi tahu Dila, bahwa Raihan melihat untuk kedua kalinya Rio jalan dengan cewek yang sama. Seperti biasa, Dila selalu mengacuhkannya. Setelah selesai nonton, Raihan mengajak Dila untuk makan. “Dil, aku pengen ngomong sesuatu.” Raihan membuka pembicaraan dengan wajah menunduk. “Apa? Mau ngomong ko bilang-bilang. Tinggal ngomong aja apa susahnya sih?” Dila menjawab tanpa beban. “Mmmmmm....gimana ya, bingung.” Raihan menggaruk kepalanya. “Apa sih Raihan? Kok kamu jadi gini sih? Tadi juga pas nonton diem aja. Kamu kenapa? Sakit?” Dila mengintip wajah Raihan yang menunduk. “Aku suka sama kamu Dil, aku cinta kamu, aku ingin kamu jadi pacar aku. Tapi, sayangnya kamu kan udah punya pacar.” Suasana mendadak hening, ada rasa bahagia yang dirasakan Dila, sebenernya Dila sendiri merasa nyaman dengan Raihan dan hampir mempunyai rasa yang sama. Tapi rasa itu selalu ditepis oleh Dila. “Kamu gak lagi bercanda kan?” tanya Dila. “Nggak Dila, aku gak lagi becanda. Aku beneran suka sama kamu.” Dila tidak menjawab, ia hanya tersenyum. “Sudahlah, lupakan saja.” Raihan seolah tahu apa yang akan dikatakan Dila. Sepanjang perjalanan pulang, mereka membisu. Tak ada satu pun kata yang terlontar dari Dila ataupun Raihan. Dila tersenyum ketika mengingat perkataan Raihan tadi, entah mengapa Dila merasa ada rasa bahagia yang mengalir di hatinya. Kalimat itu seolah membuat hatinya tenang. Dila sendiri tidak dapat menjelaskan alasannya. Tapi yang pasti, ia ingin mendengar kalimat itu sekali lagi. Sekedar untuk meyakinkan hatinya. Namun berbeda dengan Raihan. Ia terlalu cepat mengambil jawaban. Dila tak mungkin akan menerimanya, lagipula Dila juga sudah mempunyai pacar, hanya itu yang ada dipikirannya. Hingga akhirnya Raihan menyerah dan berniat untuk melupakan dan menjauhi Dila. * * * * * * Air mata Dila semakin mengalir, ketika mengingat masa lalunya itu. Dila menyesal menyia-nyiakan orang yang selalu ada untuknya. Menyesal karena tak pernah mau mendengar apa yang dikatakan teman-temannya. Ternyata apa yang dikatakan Raihan dan teman-temannya itu memang benar. Rio tak pernah tulus menyayanginya. Berbeda dengan Raihan yang menyimpan perasaan tulus terhadapnya. Dan Dila tahu itu. Namun Dila merasa dirinya bodoh karena selama ini Dila selalu mengabaikan Raihan dan membohongi perasaannya sendiri. Dila sangat menyesal. Dila kembali meraih ponselnya dan membuka pesan singkat dari salah seorang temannya yang pernah diterimanya dulu. Sender: +628132704.... Dila, Raihan udah gak ada. Semalam waktu Raihan akan berkunjung ke rumahmu,dia mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarainya bertabrakan dengan sebuah truk. Saat itu kondisinya kritis, sampai akhirnya jantung Raihan benar-benar berhenti. Maaf jika aku membuatmu sedih. Tapi aku harus memberitahumu. Dila merasa terpukul dengan pesan singkat yang diterimanya dari teman yang kebetulan satu kelas dengan Raihan itu. Pesan singkat itu masih tersimpan di ponselnya sampai sekarang. Dila memang tidak ingin menghapusnya. Dila tertegun, tak lama kemudian Dila meneteskan air matanya. Butuh tenaga besar bagi Dila untuk bangkit dan berjalan menuju meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Ia membuka salah satu lacinya dan meraih secarik surat yang sudah tampak lusuh. Perlahan Dila membaca kembali isi surat itu. Untukmu, Nadila Byanti... Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku ketika bisa menjadi bagian dari lembaran buku harianmu? Bahagia. Aku memang baru mengenalmu, tapi rasanya aku sudah mengenalmu seumur hidupku. Dan tiba-tiba saja aku sadar kau telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku. Dila, aku minta maaf jika selama ini aku selalu menghindar darimu seolah tidak ingin bertemu. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin menutupi rasa sedihku. Saat itu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menerima tanpa mengubahnya. Aku hanya bisa berharap kau bahagia bersama Rio. Tapi ternyata aku salah. Dan ketika aku baru saja ingin kembali padamu, Tuhan berkehendak lain... Dila, pertemuan dan perpisahan sudah menjadi pasangan dalam kehidupan. Percayalah bahwa jika ada secercah cahaya yang meredup, di sisi lainnya pasti ada setitik cahaya yang siap bersinar terang. Saat membaca surat ini, kau boleh menangis. Tapi setelahnya, hapuslah air matamu dan tersenymlah. Karena selama kau baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja. Cintaku akan tumbuh bersama bunga-bunga di taman, mengalir bersama air di sungai, dan bersinar bersama bintang-bintang di langit. Percayalah. Raihan Arya Nugraha Air mata Dila mengalir semakin deras setelah membaca kembali isi surat itu. Surat yang diterimanya dari ibunda Raihan ketika Dila berziarah ke makam Raihan. Surat yang dititipkan Raihan untuknya. Memang, setelah Raihan mengungkapkan perasaannya, Dila tak pernah bertemu langsung dengan Raihan. Apalagi menghabiskan waktunya bersama Raihan. Bahkan Raihan selalu menghindar setiap kali Dila mendekat. Padahal saat itu Dila telah benar-benar yakin bahwa Dila juga mempunyai rasa yang sama terhadap Raihan. Dila memang menyesal, tapi Dila tahu, jarum waktu akan terus berputar dan tidak mungkin mengembalikan masanya itu. Dila menyeret kakinya berjalan menuju jendela dan memandang ke arah luar. “Terima kasih Raihan. Aku tahu kau tidak pernah benar-benar pergi meninggalkan aku......” TAMAT