Monday, February 6, 2012

Cinta Pertama, Abadi Selamanya

Aditya Dharmansyah. Begitulah namanya. Seorang lelaki tampan yang memiliki jiwa pengorbanan dan ketulusan hati. Hingga suatu saat takdir mempertemukan Dharma dengan Kalista. Seorang gadis cantik, periang, lembut, dan baik hati. Namun sayangnya Kalista buta. Kebutaan yang dialaminya adalah akibat dari kecelakaan tragis yang menimpanya satu tahun lalu. Selain merenggut penglihatannya, kecelakaan tragis itu juga telah merenggut nyawa kedua orang tuanya.
Awalnya Dharma hanya menganggap Kalista sebagai sahabat. Namun seiring berjalannya waktu Dharma mulai sadar, kalau ia ternyata jatuh cinta pada Kalista. Begitu pula dengan Kalista. Lima bulan kebersamaan mereka, telah menumbuhkan rasa sayang di hati mereka masing-masing.
Sore itu, Dharma dan Kalista berjalan menyusuri sebuah taman di dekat danau. Taman itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar putih, bangku-bangku taman yang bercat putih, serta burung-burung merpati yang selalu berterbangan di sekitar taman juga menambah indah suasana taman.
“Dharma, taman ini indah banget ya? Aku masih ingat saat terakhir kali aku melihat taman ini.” ucap Kalista.
“Iya kamu benar. Taman ini indah banget. Sejak kecil sampai sekarang aku sering main ke taman ini. Dan suasana taman ini nggak berubah sedikit pun.”
“Sama dong. Dulu, aku juga sering main ke taman ini. Aku suka memetik bunga mawar putih yang ada di sini. Menurutku, bunga mawar putih adalah bunga tercantik dari seluruh bunga.”
“Heemmm......,” Dharma berhenti sejenak. Ia menghampiri hamparan bunga mawar putih dan memetiknya setangkai, “Ini ada bunga tercantik untuk gadis yang tercantik.” kata Dharma sambil memberikan bunga itu ke tangan Kalista.
“Makasih Dharma. Sudah lama aku tidak merasakan keindahan bunga ini,” Kalista diam sejenak. Tanpa sengaja, air matanya mulai menetes di pipinya, “Andai saja aku bisa melihat. Pasti aku........”
“Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti bisa melihat lagi seperti dulu.”
“Itu harapanku. Tapi, apa mungkin harapan itu berubah menjadi kenyataan? Rasanya tidak mungkin”
“Kalista, di hadapanmu masih ada cahaya. Mungkin hanya setitik. Namun cahaya itu siap menyimpan harapanmu. Dan suatu saat nanti, entah kapan, cahaya itu pasti akan bersinar terang. Jika saat itu tiba, harapanmu itu akan berubah menjadi nyata. Percayalah.”
“Tapi jika suatu saat nanti aku bisa melihat, aku ingin kamu menjadi orang pertama yang aku lihat.”
Dharma tidak menjawab. Ia hanya membalas dengan seulas senyum. Ia tahu, saat ini yang harus dilakukannya adalah memberi Kalista semangat agar tetap kuat dan tegar. Semua itu dilakukannya atas dasar cinta dan rasa kasihnya. Ia tak ingin lagi melihat air mata Kalista, yang ia inginkan hanyalah melihat seulas senyum di wajah cantik Kalista.
Sampai suatu malam, sepulang dari toko buku, Dharma yang saat itu sedang mengendarai motor tak sengaja melihat Kalista berdiri terpaku di tengah jalan. Wajah Kalista tampak pucat pasi. Sedangkan dari arah kanannya, sebuah truk melaju kencang. Berkali-kali truk itu membunyikan klaksonnya, namun Kalista tetap saja diam tak bergerak. Menyadari hal itu, tanpa pikir panjang, Dharma langsung turun dari motornya dan berlari menghampiri Kalista. Ia mendorong tubuh Kalista ke pinggir jalan. Namun tragis, ketika terhempas ke pinggir jalan kepala Dharma terbentur sebuah batu. Banyak sekali darah yang mengalir di sekitar kepalanya. Kalista yang akhirnya selamat dan tak terluka sedikit pun, mulai menyadari apa yang terjadi. Kontan Kalista langsung menjerit meminta pertolongan.
Setelah dibawa ke rumah sakit dan diperiksa oleh sang dokter, ternyata Dharma mengalami pendarahan di otaknya. Rusaknya beberapa saraf otak juga membuat harapan hidup Dharma menjadi tipis. Dharma sendiri mengetahui kondisinya saat ini.
Pagi itu, Dharma yang terbaring lemah di ruang ICU sedang berusaha meraih secarik kertas dan pulpen yang tergeletak di atas meja sebelah kiri tempat tidurnya. Setelah berhasil diraihnya, ia langsung menuliskan sesuatu di atas kertas tersebut. Tak lama kemudian, sang dokter datang menghampirinya untuk memeriksa kondisinya.
“Dok, boleh saya minta tolong sesuatu?” tanya Dharma lirih.
“Tentu saja boleh. Memangnya mau minta tolong apa?”
Dharma membisikkan sesuatu di telinga sang dokter. Dan sebagai balasannya sang dokter hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
Keesokan harinya kondisi Dharma sangat kritis. Detak jantungnya mulai tak stabil dan nafasnya pun mulai menderu-deru. Akhirnya tepat pukul dua belas siang, Dharma menghembuskan nafas terakhirnya. Kini ia telah pergi untuk selamanya. Mengetahui hal itu, seketika Kalista menjerit dan menangis. Ia tidak percaya dengan kenyataan yang terjadi.
Beberapa lama kemudian, sang dokter datang menghampiri Kalista yang tengah duduk di bangku koridor rumah sakit. Wajahnya tak berekspresi. Dokter itu menyentuh lengan Kalista.
“Bisa ikut dokter sebentar?” ajak sang dokter.
“Kemana?”
“Sudahlah, ikut saja. Nanti juga kamu mengerti.”
Kalista menuruti ajakan sang dokter. Sambil tetap menggandeng tangan Kalista, mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Sampai akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan di ujung koridor bertuliskan “Ruang Operasi” di pintunya.
Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dharma. Begitu juga dengan operasi donor mata yang dilakukan Kalista. Kini, perban yang membalut kedua mata Kalista sudah saatnya untuk dibuka. Dengan sangat hati-hati, sang dokter mulai membuka perbannya. Setelah seluruh perban dibuka, perlahan Kalista mencoba untuk membuka kedua matanya. Secercah cahaya mulai muncul. Dan lama-kelamaan cahaya itu membentuk sebuah bayangan dan bayangan itu perlahan mulai terlihat jelas.
Kini Kalista dapat melihat seperti dulu. Penglihatannya telah kembali. Setitik cahaya itu, kini tengah bersinar dengan terangnya. Harapannya telah berubah menjadi kenyataan. Itu yang ada dalam benaknya sekarang.
Seketika itu sang dokter memberi sebuah vas bunga yang tertanam mawar putih di dalamnya. Di sisi vas bunga itu tertempel secarik surat. Kalista membuka surat itu dan mulai membacanya perlahan.

Untuk peri hidupku, Kalista Syifa Nurrahma
Apakah kamu tahu bagaimana perasaanku ketika bisa menjadi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupmu? Bahagia. Aku memang baru mengenalmu, tapi rasanya aku sudah mengenalmu seumur hidupku. Dan tiba-tiba saja aku sadar kau telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.
Kalista, aku minta maaf jika sudah membuatmu sedih karena aku tidak bisa menjadi orang pertama yang kamu lihat ketika kamu membuka matamu. Tapi inilah takdir. Ketika ada setitik cahaya yang bersinar terang, di sisi lainnya juga ada secercah cahaya yang meredup. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menerima tanpa mengubahnya. Pertemuan dan perpisahan sudah menjadi pasangan dalam kehidupan. Namun percayalah, dengan kedua mata yang ada di kelopakmu, kamu tetap bisa melihat aku, karena kedua mata itu dulu adalah bagian dari tubuhku. Kalista, aku tak ingin kamu melupakan aku. Karena itu, aku memberimu bunga mawar putih. Bunga tercantik, untuk gadis yang tercantik. Kalista, aku harap setelah ini kamu tetap menjadi Kalista yang kukenal. Kalista yang periang dan selalu semangat. Berjanjilah padaku, kau tak akan berubah.
Saat membaca surat ini, kau boleh menangis. Tapi setelahnya, hapuslah air matamu dan tersenymlah. Karena selama kau bahagia, aku juga akan bahagia. Cintaku akan tumbuh bersama bunga-bunga di taman, mengalir bersama air di sungai, dan bersinar bersama bintang-bintang di langit. Percayalah.

Aditya Dharmansyah

Seketika air mata Kalista mengalir deras membasahi pipinya.
“Sehari sebelum Dharma pergi, ia menitipkan vas bunga dan surat itu untukmu. Dia juga mendonorkan matanya untukmu.” Jelas sang dokter.
Kalista berdiri dan berjalan menghampiri jendela. Memandang lurus ke depan dan berkata, “Satu hal terpahit dalam hidupku adalah bukan karena aku sempat buta, melainkan karena aku tak sempat melihat cinta pertamaku sekaligus malaikat hidupku. Aditya Dharmansyah.”


~ Tamat ~

No comments:

Post a Comment